Bullying bukanlah hal yang sepele. Sebab, dari tahun ke tahun jumlah korbannya
terus meningkat. Data yang tercatat oleh
World Vision Indonesia, pada 2008, terjadi 1.626 kasus, tahun 2009 meningkat
hingga 1.891 kasus, 891 di antaranya kasus di sekolah. Peningkatan jumlah kejadian bisa jadi karena
kesadaran masyarakat lebih tinggi dengan semakin banyaknya liputan media, atau
bisa jadi karena kondisinya memang lebih parah.
School Bullying sering kali diawali oleh hal-hal
yang dianggap sepele oleh orang tua.
Misalnya di sebuah sekolah di Bekasi, seorang anak perempuan bunuh diri
akibat terus-menerus diejek karena ayahnya tukang bubur. Ada lagi di sebuah sekolah Jakarta, seorang remaja
perempuan diancam dan diintimidasi oleh kakak kelasnya hanya karena tidak
mengenakan kaus dalam.
Adapun yang termasuk bullying adalah perilaku yang
sengaja dilakukan untuk menekan, mengintimidasi, dan menakut-nakuti korbannya
untuk menunjukkan kekuatan/kekuasaan pelakunya.
Tak hanya secara fisik, tapi bullying juga dapat terjadi secara psikis.
Berbagai penelitian membuktikan para pelaku
bullying menginginkan penghormatan, status, dan dominasi. Berbeda dengan gurauan dalam berteman,
bullying bersifat jangka panjang, tidak diinginkan dan tidak terjadi dalam
kerangka sosial yang sama, dan satu tindakan baru dianggap sebagai bullying,
jika korban tidak suka dengan tindakan tersebut.
Akar dari bullying adalah hilangnya nilai-nilai
luhur dalam masyarakat yang mengutamakan rasa saling percaya (trust) dan saling
menghormati (respect). Karena hilangnya nilai luhur ini, yang dominan kemudian
adalah ego pada diri pribadi anak.
Ini terjadi karena masih banyak orang tua dan guru
yang melakukan corporal punishment dan menganggap wajar hal tersebut dengan
alasan untuk mendisiplinkan. Padahal yang dilakukan sebenarnya adalah bentuk
lain dari kekerasan. Misalnya, memukul tangan dengan penggaris, menjambak
rambut karena terlalu panjang, dan menyuruh push up karena terlambat. Dengan cara demikian, anak malah imun tehadap
kekerasan dan menganggap cara tersebut adalah yang benar sehingga si anak
mengaplikasikan ke dalam pergaulannya.
Dampaknya, anak yang mengalami kekerasan bisa jadi
agresif atau pasif atau bisa sekaligus kedua-duanya. Misalnya di rumah pasif
tapi agresif di luar rumah. Selain itu televisi dan video game berisi kekerasan
adalah tambahan yang menjadi pencuci otak anak yang efektif dan menjadikan
mereka permisif terhadap kekerasan.
Pelaku bullying sebenarnya anak-anak yang
menginginkan perhatian, impulsif, dominan secara sosial, suka berkonfrontasi,
dan mudah frustrasi. Mereka umumnya juga
anak-anak yang kurang punya empati, suka mempertanyakan pihak otoritas, suka
mencoba-coba melanggar peraturan, mengidolakan kekerasan, dan memiliki kemampuan
berbicara untuk membela diri dalam situasi yang sulit.
Tindakan ini akan mengakibatkan lemahnya performa
akademis, depresi, serta rendahnya kepercayadirian, dan ini akan berlangsung
selama bertahun-tahun. Padahal, saat
anak depresi, menurut penelitian lain, akan mengakibatkan 40 juta sel otaknya
ikut mati,
Pelaku bullying juga berisiko negatif, menjadi
pelanggar hukum, pelaku kekerasan, dan mengidap masalah psikologis. Sebuah
penelitian pada anak sekolah di Korea menemukan bahwa semua siswa perempuan
yang terlibat dalam tindakan ini--baik sebagai pembuli, terbuli, maupun
keduanya--berisiko tinggi melakukan bunuh diri.
Penelitian lain membuktikan bahwa anak lelaki yang diidentifikasi
sebagai pelaku bullying di sekolah dasar empat kali lebih mungkin melakukan
tindakan kriminal saat berusia sekitar 20 tahun.
Sayangnya selama ini penyelesaian di Indonesia
belum terkoordinasi dengan baik. Pelaku bullying biasanya dilaporkan ke polisi,
dipenjarakan, dan semakin menanamkan bahwa kekerasan itu hal normal dalam
pikiran anak.
Sebagai pendidik dan sebagai orang tua yang dekat
dengan anak harus memberikan perhatian khusus bagi masalah bullying yang
seringkali terjadi di lingkup sekolah.
Perlu kerjasama yang baik antara pihak sekolah dan orang tua dalam mengatasi
pelaku dan korban. Konsep dasarnya
adalah menanamkan pengertian bahwa rasa aman adalah milik semua orang.
Tapi cara membela diri paling ampuh bagi korban
atau calon korban adalah membekali mereka dengan kemampuan berkomunikasi secara
asertif. Dengan komunikasi asertif,
seorang anak kecil yang dibuli oleh temannya yang lebih besar, jika mengatakan
"tidak" secara tegas, akan membuat si pelaku sungguh-sungguh mundur
Tidak ada komentar:
Posting Komentar