Minggu, 02 Maret 2014

Cermati kasus bullying di sekolah anak-anak kita

Bullying bukanlah hal yang sepele.  Sebab, dari tahun ke tahun jumlah korbannya terus meningkat.  Data yang tercatat oleh World Vision Indonesia, pada 2008, terjadi 1.626 kasus, tahun 2009 meningkat hingga 1.891 kasus, 891 di antaranya kasus di sekolah.  Peningkatan jumlah kejadian bisa jadi karena kesadaran masyarakat lebih tinggi dengan semakin banyaknya liputan media, atau bisa jadi karena kondisinya memang lebih parah.
School Bullying sering kali diawali oleh hal-hal yang dianggap sepele oleh orang tua.  Misalnya di sebuah sekolah di Bekasi, seorang anak perempuan bunuh diri akibat terus-menerus diejek karena ayahnya tukang bubur.  Ada lagi di sebuah sekolah Jakarta, seorang remaja perempuan diancam dan diintimidasi oleh kakak kelasnya hanya karena tidak mengenakan kaus dalam.

Adapun yang termasuk bullying adalah perilaku yang sengaja dilakukan untuk menekan, mengintimidasi, dan menakut-nakuti korbannya untuk menunjukkan kekuatan/kekuasaan pelakunya.  Tak hanya secara fisik, tapi bullying juga dapat terjadi secara psikis.
Berbagai penelitian membuktikan para pelaku bullying menginginkan penghormatan, status, dan dominasi.  Berbeda dengan gurauan dalam berteman, bullying bersifat jangka panjang, tidak diinginkan dan tidak terjadi dalam kerangka sosial yang sama, dan satu tindakan baru dianggap sebagai bullying, jika korban tidak suka dengan tindakan tersebut.
Akar dari bullying adalah hilangnya nilai-nilai luhur dalam masyarakat yang mengutamakan rasa saling percaya (trust) dan saling menghormati (respect). Karena hilangnya nilai luhur ini, yang dominan kemudian adalah ego pada diri pribadi anak.
Ini terjadi karena masih banyak orang tua dan guru yang melakukan corporal punishment dan menganggap wajar hal tersebut dengan alasan untuk mendisiplinkan. Padahal yang dilakukan sebenarnya adalah bentuk lain dari kekerasan. Misalnya, memukul tangan dengan penggaris, menjambak rambut karena terlalu panjang, dan menyuruh push up karena terlambat.  Dengan cara demikian, anak malah imun tehadap kekerasan dan menganggap cara tersebut adalah yang benar sehingga si anak mengaplikasikan ke dalam pergaulannya.
Dampaknya, anak yang mengalami kekerasan bisa jadi agresif atau pasif atau bisa sekaligus kedua-duanya. Misalnya di rumah pasif tapi agresif di luar rumah. Selain itu televisi dan video game berisi kekerasan adalah tambahan yang menjadi pencuci otak anak yang efektif dan menjadikan mereka permisif terhadap kekerasan.
Pelaku bullying sebenarnya anak-anak yang menginginkan perhatian, impulsif, dominan secara sosial, suka berkonfrontasi, dan mudah frustrasi.  Mereka umumnya juga anak-anak yang kurang punya empati, suka mempertanyakan pihak otoritas, suka mencoba-coba melanggar peraturan, mengidolakan kekerasan, dan memiliki kemampuan berbicara untuk membela diri dalam situasi yang sulit. 
Tindakan ini akan mengakibatkan lemahnya performa akademis, depresi, serta rendahnya kepercayadirian, dan ini akan berlangsung selama bertahun-tahun.  Padahal, saat anak depresi, menurut penelitian lain, akan mengakibatkan 40 juta sel otaknya ikut mati,
Pelaku bullying juga berisiko negatif, menjadi pelanggar hukum, pelaku kekerasan, dan mengidap masalah psikologis. Sebuah penelitian pada anak sekolah di Korea menemukan bahwa semua siswa perempuan yang terlibat dalam tindakan ini--baik sebagai pembuli, terbuli, maupun keduanya--berisiko tinggi melakukan bunuh diri.  Penelitian lain membuktikan bahwa anak lelaki yang diidentifikasi sebagai pelaku bullying di sekolah dasar empat kali lebih mungkin melakukan tindakan kriminal saat berusia sekitar 20 tahun.
Sayangnya selama ini penyelesaian di Indonesia belum terkoordinasi dengan baik. Pelaku bullying biasanya dilaporkan ke polisi, dipenjarakan, dan semakin menanamkan bahwa kekerasan itu hal normal dalam pikiran anak.
Sebagai pendidik dan sebagai orang tua yang dekat dengan anak harus memberikan perhatian khusus bagi masalah bullying yang seringkali terjadi di lingkup sekolah.  Perlu kerjasama yang baik antara pihak sekolah dan orang tua dalam mengatasi pelaku dan korban.  Konsep dasarnya adalah menanamkan pengertian bahwa rasa aman adalah milik semua orang.
Tapi cara membela diri paling ampuh bagi korban atau calon korban adalah membekali mereka dengan kemampuan berkomunikasi secara asertif.  Dengan komunikasi asertif, seorang anak kecil yang dibuli oleh temannya yang lebih besar, jika mengatakan "tidak" secara tegas, akan membuat si pelaku sungguh-sungguh mundur

Tidak ada komentar:

Posting Komentar