Minggu, 02 Maret 2014

Kisah Tabi’in: Zainul Abidin bin Husein bin Ali bin Abi Thalib

Tahun itu, tamatlah riwayat kekaisaran Persia. Yazdajird, kaisar terakhir Persi wafat di pengasingan, sementara seluruh harta, prajurit dan kerabat istana menjadi tawanan kaum muslimin. Semuanya diangkut ke Madinah al-Munawarah.Kemenangan kaum muslimin itu menghasilkan tawanan yang berjumlah banyak, dari kalangan terhormat dan belum pernah penduduk Madinah melihat hasil ghanimah sebanyak dan begitu berharga seperti itu. Di antara para tawanan tersebut terdapat pula tiga orang putri kaisar Yazdajird.Orang-orang memperhatikan para tawanan tersebut dan beberapa saat kemudian sebagian mereka ikut membelinya, sedangkan bayarannya dimasukkan ke baitul maal kaum muslimin. Tidak ada lagi yang tertinggal selain para putri kaisar yang sangat jelita lagi masih belia.


Ketika ditawarkan untuk dijual, mereka semua tertunduk ke bumi merasa hina dan rendah. Air mata meleleh dari kedua pipi mereka. Ali bin Abi Thalib merasa iba melihatnya dan berharap semoga orang yang akan membeli para putri itu adalah orang yang bisa menghargai martabat mereka dan sanggup memelihara mereka dengan baik, sebab Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda, “Kasihanilah para bangsawan yang terhina.”

Dengan segera beliau mendekati Amirul Mukminin Umar bin Khathab dan mengusulkan: “Para putri kaisar itu sebaiknya tidak diperlakukan seperti tawanan lainnya.” Umar radhiyallahu ‘anhu berkata, “Engkau benar, tapi bagaimana caranya?” Ali berkata, “Umumkan harga mereka setinggi mungkin, lalu beri mereka kebebasan untuk memilih orang yang bersedia membayarnya.” Saran Ali disetujui dan segera dilaksanakan oleh Umar. Putri yang pertama memilih Abdullah bin Umar, putri kedua memilih Muhammad bin Abu Bakar, sedangkan ketiga yang dipanggil dengan Syah Zinaan memilih Husein bin Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, cucu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Tak lama setelah itu, putri yang ketiga langsung memeluk Islam dan bagus keislamannya. Sehingga dia beruntung dengan agama yang lurus, juga dimerdekakan dan dijadikan istri oleh Husein setelah tadinya berstatus budak. Setelah itu dia tanggalkan segala hal yang berkaitan dengan paganisme (penyembahan berhala) dan mengganti nama “Syah Zinan” yang berarti ratunya para wanita menjadi “Ghazalah.”

Ghazalah amat bahagia menjadi istri dari suami yang paling baik dan paling layak untuk mendapatkan putri raja. Sehingga tiada lagi yang dia cita-citakan selain mendapatkan karunia anak.  Beberapa waktu kemudian, Allah pun memuliakan beliau, tidak lama kemudian beliau dikaruniai seorang anak yang tampan. Beliau memberinya nama Ali, sama dengan nama kakeknya Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu.

Hanya saja, kebahagiaan itu tak lama dirasakan Ghazalah. Ia segera memenuhi panggilan Rabb-nya akibat pendarahan terus-menerus sesudah melahirkan. Sehingga tidak ada kesempata bagi beliau untuk bersenang-senang dengan anaknya. Kini, anak tersebut dirawat oleh seorang budak wanita. Dia dicintai seperti darah dagingnya sendiri, dipelihara lebih baik daripada anaknya sendiri. Maka si kecil itu tumbuh tanpa mengenal ibu lain selain budak wanita itu.

Menginjak usia remaja, Ali bin Husein sangat tekun dan antusias menuntut ilmu. Madrasah pertama beliau adalah rumahnya sendiri, rumah yang paling mulia dan gurunya pun ayahandanya sendiri. Madrasah yang kedua adalah Masjid Nabawi asy-Syarif yang ramai dikunjungi sisa-sisa shahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan generasi pertama tabi’in.

Mereka begitu bersemangat mendidik para putra shahabat utama. Mengajari Kitabullah, fiqih, serta riwayat hadis-hadis nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sesuai dengan target dan obyek yang ditujunya. Juga menceritakan tentang perjalanan dan perjuangan Rasulullah, tentang syair-syair Arab dan keindahannya. Mengisi hati mereka dengan kecintaan, takut, dan ketakwaan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan akhirnya mereka berhasil menjadi ulama yang mau beramal dan menjadi pembimbing bagi orang-orang yang mendapat petunjuk.

Hanya saja hati Ali bin Husein tidaklah terkait kepada sesuatu melebihi keterpautan hatinya terhadap Kitabullah. Tak ada hal lain yang lebih dikagumi sekaligus ditakuti daripada kalimat-kalimat, janji dan ancaman yang ada di dalamnya. Jika ayat yang beliau baca menyebut-nyebut tentang surga, serasa terbang kerinduan beliau terhadapnya. Bila membaca ayat-ayat tentang neraka, gentar gemetar seakan melihat dan merasakan panas api di tubuhnya.

Memasuki usia dewasa, dia tumbuh menjadi seorang pemuda yang kaya ilmu dan ketaqwaan. Penduduk Madinah mendapatinya sebagai pemuda Bani Hasyim yang patut diteladani ibadah dan ketaqwaannya, terhormat, luas pengetahuan, dan ilmunya, mencapai puncak ibadah dan takwanya. Sampai-sampai setiap kali selesai wudhu terlihat wajahnya pucat pasi seperti orang ketakutan. Bila ditanya tentang hal itu beliau menjawab, “Duhai celaka, tidakkah kalian tahu, kepada siapa aku akan menghadap dan siapa yang akan aku ajak berbicara?”

Melihat kepribadian beliau tersebut, kaumnya memberikan julukan “Zainul Abidin” (Hiasan para ahli ibadah) dan julukan ini justru lebih dikenal daripada nama aslinya. Selain itu, karena sujud yang sangat lama, penduduk Madinah juga menyebutnya sebagai “as-Sajjad.” Dan karena jiwanya yang bersih, dijuluki pula dengan “Az-Zakiy.”

Zainul Abidin yakin bahwa sumsum ibadah adalah doa. Beliau sendiri paling gemar berdoa di tirai Ka’bah dengan doanya, “Wahai Rabb-ku, Engkau menjadikan aku merasakan rahmat-Mu kepadaku seperti yang kurasakan dan Engkau berikan nikmat kepadaku sebagaimana yang Engkau anugerahkan, sehingga aku berdoa dalam ketenangan tanpa rasa takut dan meminta sesuka hatiku tanpa malu dan ragu. Wahai Rabb-ku, aku berwasilah kepada-Mu dengan wasilah seorang hamba lemah yang sangat membutuhkan rahmat dan kekuatan-Mu demi melaksanakan kewajiban dan menunaikan hak-Mu. Maka terimalah doaku, doa orang yang lemah, asing dan tak ada yang mampu menolong kecuali Engkau semata, wahai Akramal Akramin…”

Thawus bin Kaisan pernah melihat Zainul Abidin berdiri di bawah bayang-bayang Baitul Atiq (ka’bah), gelagapan seperti orang tenggelam, menangis seperti ratapan seorang penderita sakit dan berdoa terus-menerus seperti orang yang sedang terdesak kebutuhan yang sangat. Setelah Zainul Abidin selesai berdoa, Thawus bin Kaisan mendekat dan berkata,
Thawus: “Wahai cicit Rasulullah, kulihat Anda dalam keadaan demikian padahal Anda memiliki tiga keutamaan yang saya mengira bisa mengamankan Anda dari rasa takut.”
Zainul Abidin: “Apakah itu wahai Thawus?”

Thawus: “Pertama, Anda adalah keturunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kedua, Anda akan mendapatkan syafaat dari kakek Anda dan ketiga, rahmat Allah bagi Anda.”
Zainul Abidin: “Wahai Thawus, garis keturunanku dari Rasulullah tidak menjamin keamananku setelah kudengar firman Allah:
“...kemudian ditiup lagi sangkakala, maka tidak ada lagi pertalian nasab di antara mereka hari itu…” (QS. Al-Kahfi: 99)
Adapun tentang syafaat kakekku, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menurunkan firman-Nya:
“Mereka tiada memberi syafaat melainkan kepada orang yang diridhai Allah.” (QS. Al-Anbiya: 28)
Sedangkan mengenai rahmat Allah, lihatlah firman-Nya:
“Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-A’raf: 56)
Takdir Allah Subhanahu wa Ta’ala menghendaki, ketakwaan Zainul Abidin benar-benar tak terlampaui orang lain. Kebijakannya, kedermawanannya dan sifat sebenarnya. Tak heran bila kisah hidupnya senantiasa menyemarakkan buku-buku sejarah dan mengharumkan lembar-lembarnya dengan keluhuran budinya. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar