Open space office (ruang
terbuka tanpa sekat) menjadi tren di
perkantoran. Pertukaran ide diharapkan lancar, tetapi bagi kaum introver,
banyaknya interupsi bisa “menyiksa”.
Siani Setiawati, head
of people development sebuah perusahaan multinasional sering mendapat complain
dari staf. Lantaran ruang terbatas, bagian HRD, akuntan, administrasi, analis,
dan sales bekerja di ruang besar tanpa sekat. Bisa dibayangkan, orang sales
terus-menerus menelepon, sementara printer dot matrix para akuntan mencetak
invoice tanpa henti. Staf lain terganggu, terlebih para analis. Situasi ini
jarang direspons karena mungkin dinilai tak terkait work performance.
Pada 1921, Carl G
Jung memopulerkan istilah ekstrover–introver. Kaum introver cenderung tenggelam
di alam pikiran dan perasaan, sementara ekstrover lebih tertarik pada orang
dan kegiatan.
Umumnya, psikolog
sepakat kedua tipe tersebut memiliki cara kerja berbeda. Ekstrover cenderung
bekerja dan membuat keputusan cepat, pengambil risiko, nyaman dengan
multitasking, serta enjoy mengejar reward seperti ketenaran dan uang.
Sebaliknya, introver cenderung bekerja lebih perlahan dan cermat, fokus pada
pekerjaan satu per satu, mampu berkonsentrasi, dan relatif immune terhadap
iming-iming popularitas atau imbalan finansial.
Sejak lama, dunia
memuja kaum ekstrover, tetapi benarkah kaum ekstrover selalu lebih baik?
Dalam Quiet-the Power
of Introverts in a World That Can’t Stop Talking, Susan Cain menyebut sederet
orang introver dengan karya gemilang seperti Van Gogh, Chopin, George Orwell,
Steve Wozniak, Bill Gates, Larry Page, dan JK Rowling. Menurut Cain, introversi
tidak sama dengan sifat pemalu, mereka hanya tidak merasa nyaman di lingkungan
yang penuh ingar-bingar. They live in their heads.
Cain sendiri adalah
sosok introver korban stigma yang memihak kaum ekstrover. Ia memutuskan menjadi
Wall Street lawyer karena dianggap cool. Padahal, perempuan kelahiran 1968 ini
sangat ingin menjadi penulis, karier yang kemudian dilakoninya dengan sangat
baik dan dibuktikan dengan suksesnya Quiet.
Dunia
menjadi ekstrover
Dulu orang hidup
dalam komunitas desa berbasis pertanian, tiap orang saling kenal. Karakter,
martabat, dan kejujuran menjadi kata kunci menilai kepribadian. Memasuki abad
XX, ketika terjadi peralihan menuju industrial society berbasis kota, orang tak
lagi saling kenal sehingga perlu membuktikan diri kepada orang lain. Kata-kata
karisma, dominan, dan atraktif mulai bernilai positif. Uniknya, agar produktif, bahkan inovatif,
orang introver membutuhkan ruang senyap. “Kesendirian ibarat oksigen,” ungkap
Cain. Pada bab 3, Cain bahkan menulis betapa kolaborasi bisa “membunuh”
kreativitas mereka. Faktanya, kebanyakan top performers bekerja di perusahaan
yang memberi ruang privasi, kendali atas lingkungan fisiknya, dan bebas dari
interupsi. Pantas saja Cain menyarankan, “Stop the madness of constant group
work.”
Hal yang tak kalah
menarik adalah soal multitasking. Otak kita tidak mampu memberi perhatian pada
dua hal sekaligus. Multitasking hanyalah peralihan atensi dari satu tugas ke
tugas lain berkali-kali. Cara ini menurunkan produktivitas dan meningkatkan
kesalahan hingga 50 persen.
Kekuatan berlama-lama
dengan satu pekerjaan tercermin dari ucapan Einstein, “Saya bukan orang yang
sangat pandai, tetapi saya bisa bertahan lebih lama berkutat dengan satu
persoalan.” Jadi, mungkin memang perlu mengatur keseimbangan antara aksi dan
refleksi.
Untung
saat banyak orang “buntung”
Nama lain dalam
jajaran sosok introver adalah Warren Buffett, yang seolah menjadi nama “sakti”
di dunia investasi. Kekayaannya yang fantastis merupakan bukti tak terbantahkan
akan kecermatannya mengantisipasi pergerakan bursa saham.
Banyak yang kenal
Buffett’s golden rules, tetapi mengapa jarang yang sehebat dia? Tentunya ada
elemen lain di luar “teori” investasinya, yang menurut Cain, ada pada
pribadinya yang introver. Cain dengan meyakinkan membongkar fenomena ini di bab
7, Why Did Wall Street Crash and Warren Buffett Prosper?
Tiap musim panas,
Allen & Co, sebuah bank investasi mengundang investor, pengusaha, dan
selebritas ke konferensi di Sun Valley, Idaho. Pada 1999, Buffett diundang
untuk berpidato. Dulu, ia demam panggung
dan terpaksa mengambil kursus public speaking.
Ia menghabiskan berminggu-minggu menyiapkan pidatonya itu. Dengan
analisis njlimet yang menyebut berbagai tanda bahaya, Buffett menyimpulkan
euforia saham dot com tak akan bertahan lama. Audiens memberikan standing
ovation, tetapi terdengar bisik-bisik, “Warren orang tua hebat, tetapi kali ini
ia ketinggalan momen.”
Tahun berikutnya,
gelembung saham berbasis internet pecah, harganya terjun bebas. Ironis, pada
saat bersamaan, Buffett panen untung dari saham-saham lain. Tak salah kalau
Cain berujar di acara TED Talk, “There is no correlation between the best
talker and having the best ideas.”
Adakah kaitan antara
tipe kepribadian dengan manajemen risiko dan kepekaan terhadap tanda bahaya? Mengenai soal ini, Dr Janice Dorn, seorang
doktor ilmu syaraf spesialis anatomi otak yang juga dijuluki Financial
Psychiatrist mengatakan, kaum introver cenderung lebih memperhatikan tanda
bahaya dan mampu mengendalikan luapan kegembiraan atau hasratnya.
Memang, keunikan tipe
kepribadian ini masih menyisakan banyak pertanyaan, seperti haruskah orang introver
berubah? Di dunia yang didominasi the extrovert ideal, seberapa jauh seorang
introver bisa berpura-pura ekstrover demi adaptasi? Penelusuran bab dalam Quiet
akan menemukan bagaimana orang introver bisa berkomunikasi efektif dengan kaum
ekstrover di sekolah, perusahaan, atau pasangan hidupnya (SUMBER : INA LIEM)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar