Begitu dahsyatnya
revolusi digital sehingga arus informasi mengalir tak terbendung. Menyaring dan
mencari informasi di antara jutaan data memerlukan keahlian tersendiri.
Pustakawan di era digital bukan lagi penjaga buku, melainkan lebih berperan
sebagai information provider yang membantu memudahkan pengambilan keputusan
secara cerdas.
Jurusan ilmu
perpustakaan pun dalam perkembangannya berevolusi menjadi jurusan Information
Science, sebab informasi tidak hanya meliputi cetak, tetapi juga dalam bentuk
digital dan data visual. Jadi, Information Science memiliki cakupan yang jauh
lebih luas daripada ilmu perpustakaan.
Ida Fajar Priyanto
adalah mahasiswa Indonesia yang saat ini menjalani program doktoralnya di UNT
di bidang Interdisciplinary Information Science. Setidaknya ada empat mata
kuliah menarik yang menunjukkan penekanan pada kata “informasi” di bidang ini.
Pertama, pada mata
kuliah Media Theory and Design, mahasiswa harus membuat 4 proyek. Salah satu
proyek yang digarap Ida adalah “Games and Gaming Facilities in the Libraries”.
Di sini Ida meneliti efektivitas dan efisiensi dari fasilitas game di
perpustakaan akademis yang mulai bermunculan beberapa tahun terakhir.
Pada proyek lain,
mahasiswa diminta membuat film pendek (short movie) terkait kegiatan di kampus.
Ida dan rekannya dari Taiwan membuat film tentang pentingnya menanamkan
pengetahuan hemat energi mulai dari usia dini.
Terlihat jelas, tugas
pustakawan tidak hanya pasif mencarikan buku atau informasi saat diminta,
tetapi juga aktif mengomunikasikan informasi kepada publik melalui media yang
menarik, yaitu film. Ini tentu berbeda dengan persepsi kita tentang tugas
pustakawan selama ini yang hanya berkutat dengan buku.
Butuh
kreativitas
Selain film, game
bisa dijadikan sarana penyampaian informasi. Dalam proyek lain, Ida dan
teman-temannya membuat game interaktif berjudul Health Choice! Game ini dibuat
untuk mengukur tingkat pengetahuan nutrisi di kalangan mahasiswa. Di sini juga
terbukti kreativitas diperlukan oleh pustakawan.
Mata kuliah menarik
lainnya adalah Communication and Use of Information. Mahasiswa belajar tentang
perilaku para pencari informasi, yang ternyata pada satu budaya bisa berbeda
dengan budaya yang lain.
Pada mata kuliah
Human-Computer Interaction, mahasiswa mengkaji perkembangan interaksi antara
manusia dengan komputer, yang diawali dengan penggunaan keyboard, lalu stylus
pen, diikuti layar sentuh sampai voice-generated.
Uniknya, ada kajian
atas film The Bird karya Alfred Hitchcock dalam mata kuliah Communication and
Information Measurement. Mereka belajar mengukur informasi yang terdapat dalam
gambar bergerak, image dan teks. Tujuannya untuk memahami cara manusia menyerap
informasi yang bukan hanya dari judul, abstrak atau sinopsis seperti yang dipelajari
ilmu perpustakaan masa prainternet .
Dengan derasnya arus
hiburan massal lewat TV, bioskop, dan internet, pustakawan mesti berusaha lebih
keras untuk menarik perhatian agar informasi berguna tetap mendapat tempat di
hati masyarakat.
Selama belajar di
Amerika, Ida melihat ada beberapa mata kuliah yang belum dikembangkan di
Indonesia, seperti Information Behavior, Information Measurement, Philosophy of
Information, Human-Computer Interaction, Digital Curation dan masih banyak
lagi. Ilmu-ilmu ini mutlak dibutuhkan di era informasi.
Mesti diakui, banyak
situs web belum user friendly. Contohnya, halaman utama situs web beberapa
universitas di Indonesia banyak memajang berita atau foto kegiatan yang mungkin
hanya relevan bagi “orang dalam”, tetapi malah miskin info program dan akademik
yang sangat dibutuhkan masyarakat, khususnya calon mahasiswa. Navigasi di dalam situs web masih menyulitkan
pengunjung. Ini menunjukkan bahwa penyebaran informasi yang efektif perlu ditangani
ahli information science.
Bandingkan dengan
situs web kebanyakan universitas negara lain. Halaman utama langsung menyajikan
kategori isinya tanpa gambar atau teks yang tidak relevan. Informasi akademik
pun bukan hanya menampilkan kurikulum tiap jurusan. Tiap mata kuliahnya
dilampiri course description, lengkap dengan daftar buku pegangan dan kriteria
kelulusannya. Bahkan untuk informasi lebih lanjut, alamat e-mail untuk contact
person-nya lengkap dan mudah dihubungi dari belahan bumi mana pun.
Menutup
kekurangan
Saat ini, Ida masih
tercatat sebagai Sekjen Forum Perpustakaan Perguruan Tinggi Indonesia (FPPTI)
dan Ketua Dewan Perpustakaan Propinsi DIY. Rencananya, sekembalinya ke
Indonesia kelak, ia ingin mengembangkan ilmu informasi dan perpustakaan di
Indonesia.
Kalau menilik
besarnya kebutuhan, Indonesia masih sangat kekurangan ahli informasi dan
perpustakaan, terutama di tingkat S2 dan S3. Saat ini, hanya ada beberapa orang
yang bergelar S3, itu pun sebagian sudah pensiun. Tak pelak, dalam berbagai
event internasional, sangat sedikit orang Indonesia yang hadir. Akibatnya,
representasi Indonesia hampir tidak terdengar.
Apabila kebutuhan
akan keahlian ini tidak segera diisi oleh generasi muda kita, tidak mustahil
setelah berlakunya AFTA (ASEAN Free Trade Area), kita akan kebanjiran tenaga
ahli informasi dari manca negara. Kita percaya bahwa “information is power”.
Jadi, jangan sampai “power” di negeri tercinta ini kelak jatuh ke dalam
genggaman para “information manager” pendatang. (sumber :Ina Liem)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar