Khalifah
Sulaiman wafat tahun 99H, Umar bin Abdul Aziz menshalatkan jenazahnya, tertulis
dalam stempelnya, “Aku beriman kepada Allah dengan ikhlas.” (Siyar A’lam
Nubala, 5: 11-12).
Ada
beberapa riwayat tentang pengangkatan Umar bin Abdul Aziz sebagai khalifah. Di
antara riwayat-riwayat tersebut adalah yang dikisahkan oleh Ibnu Sa’ad dalam
ath-Thabaqat dari Suhail bin Abu Suhail, dia berkata, Aku mendengar Raja’ bin
Haiwah berkata, “Di hari Jumat, Sulaiman bin Abdul Malik memakai baju berwarna
hijau dari wol, dia bercermin dan berkata, ‘Aku adalah raja muda’. Lalu dia
keluar untuk menunaikan shalat Jumat bersama rakyat, dia langsung sakit begitu
pulang, manakala sakitnya semakin keras dia menulis wasiat untuk anaknya Ayyub.
Ayyub adalah anak yang belum dewasa, aku berkata kepadanya, ‘Apa yang engkau
lakukan wahai Amirul Mukminin? Di antara kebaikan seseorang yang mengalir ke
kuburnya adalah bahwa dia mengangkat orang shaleh sesudahnya’. Sulaiman
berkata, ‘Surat wasiat ini, aku masih beristikharah kepada Allah, masih
mempertimbangkan, dan belum memutuskan dengan pasti.’
Satu
atau dua hari setelah itu Sulaiman membakar surat tersebut, kemudian dia
mengundangku. Dia bertanya, ‘Bagaimana pendapatmu tentang Dawud bin Sulaiman?’
Aku menjawab, ‘Dia berada di Konstantinopel, Anda sendiri tidak tahu dia masih
hidup atau telah mati’. Sulaiman bertanya, ‘Siapa menurutmu wahai Raja’?’ Aku
menjawab, ‘Terserah Anda wahai Amirul Mukminin’. Aku berkata demikian karena
aku sendiri masih mempertimbangkan. Sulaiman berkata, ‘Bagaimana menurutmu Umar
bin Abdul Aziz?’ Aku menjawab, ‘Demi Allah, yang aku tahu bahwa dia adalah
laki-laki yang utama, muslim pilihan’. Sulaiman berkata, ‘Benar, dialah
orangnya, tetapi jika aku mengangkatnya dan tidak mengangkat seorang pun dari
anak-anak Abdul Malik, maka hal itu bisa memicu perpecahan, mereka tidak akan
membiarkannya memimpin selama-lamanya, kecuali jika aku menetapkan seseorang
dari mereka setelah Umar. Aku akan mengangkat Yazid bin Abdul Malik sesudah
Umar. –Pada saat itu Yazid sedang tidak berada di tempat, dia menjadi Amirul
Haj- Hal itu akan membuat anak-anak Abdul Malik tenang dan menerima’. Aku
berkata, ‘Terserah Anda’.
Sulaiman
bin Abdul Malik menulis surat tangannya, ‘Dengan nama Allah yang Maha Pengasih
lagi Maha Penyayang. Ini adalah surat wasiat Sulaiman bin Abdul Malik, Amirul
Mukminin, untuk Umar bin Abdul Aziz. Sesungguhnya aku menyerahkan khilafah
kepadanya sesudahku dan sesudahnya kepada Yazid bin Abdul Malik, dengarkanlah
dan taatilah, bertakwalah kepada Allah, janganlah berselisih, karena
musuh-musuh kalian akan berharap mengalahkan kalian’. Lalu Sulaiman menstempel
surat tersebut.
Sulaiman
kemudian meminta Ka’ab bin Hamid, kepala pasukan pengawal khalifah, agar
mengumpulkan keluarganya. Ka’ab melaksanakan dan mengumpulkan mereka. Setelah
mereka berkumpul, Sulaiman berkata kepada Raja’, bawalah surat wasiatku kepada
mereka, katakan kepada mereka bahwa itulah surat wasiatku, minta mereka untuk
membaiat orang yang aku tunjuk’. Raja’ melaksanakannya, ketika Raja menyampaikan
hal itu, mereka berkata, ‘Kami mendengarkan dan menaati siapa yang tercantum di
dalamnya’. Mereka berkata, ‘Bolehkah kami menemui Amirul Mukminin untuk
mengucapkan salam?’ Raja’ menjawab, ‘Silahkan’. Mereka pun masuk, Sulaiman
berkata kepada mereka, ‘Itu adalah wasiatku, -Sulaiman menunjuk kepada surat
yang ada di tangan Raja’ dan mereka melihat surat tersebut- Itu adalah pesan
terakhirku, dengarkanlah, taatilah dan baiatlah orang yang aku sebutkan namanya
dalam surat wasiat tersebut’. Raja’ berkata, ‘Maka mereka membaiatnya satu per
satu’. Kemudian Raja’ membawa surat yang berstempel itu keluar’.”
Raja’
berkata, “Manakala mereka telah meninggalkan tempat itu, Umar datang kepadaku,
dia berkata, ‘Wahai Abu al-Miqdam, sesungguhnya Sulaiman sangat menghormati dan
menyayangiku, dia bersikap lembut dan baik, aku khawatir dia menyerahkan
sebagian perkara ini kepadaku, maka aku meminta kepadamu dengan nama Allah
kemudian dengan kehormatan dan kasih sayangku, agar engkau memberitahuku jika
perkaranya demikian, sehingga aku bisa mengundurkan diri saat ini sebelum
datangnya suatu keadaan dimana aku tidak mampu merubahnya lagi’. Raja’
menjawab, ‘Tidak demi Allah, aku tidak akan mengabarkan satu huruf pun
kepadamu’. Maka Umar pergi dengan kesal.”
Raja’
berkata, “Maka Hisyam bin Abdul Malik menemuiku dan berkata, ‘Sesungguhnya
antara diriku dengan dirimu terdapat hubungan baik dan kasih sayang lama, aku
pun tahu berterima kasih, katakan kepadaku apakah aku orang yang disebut dalam
surat tersebut? Jika aku adalah orangnya, maka aku tahu. Jika orang lain, maka
aku akan berbicara, orang sepertiku tidak patut dipandang sebelah mata, perkara
seperti ini tidak pantas dijauhkan dari orang sepertiku, katakan kepadaku. Aku
berjanji dengan nama Allah kepadamu tidak akan menyebutkan namamu
selama-lamanya’.”
Raja’
berkata, “Aku menolak permintaan Hisyam, aku berkata, ‘Tidak demi Allah, aku
tidak akan membuka satu huruf pun kepadamu dari apa yang telah dirahasiakan
Sulaiman kepadaku’. Hisyam pun pergi sambil menepukkan satu tangannya ke tangan
yang lain, dia berkata, ‘Kepada siapa perkara ini diserahkan jika tidak
kepadaku, apakah kami ini dianggap bukan anak Abdul Malik? Demi Allah,
sesungguhnya aku adalah putra Bani Abdul Malik yang sebenarnya’.”
Raja’
berkata, “Aku menemui Sulaiman bin Abdul Malik, ternyata dia sudah wafat, namun
aku masih mendapati saat-saat sakratul mautnya, setiap kali dia menghadapinya,
maka aku menghadapkannya ke arah kiblat, Sulaiman mengucapkan dengan
tersendat-sendat, ‘Wahai Raja’, saatnya belum tiba sekarang’. Sampai aku
mengulangnya dua kali, pada kali ketiga Sulaiman berkata, ‘Sekarang wahai
Raja’, jika kamu ingin sesuatu, maka aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan
yang haq selain Allah dan bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya’.”
Raja’
berkata, “Maka aku menghadapkannya ke arah kiblat, dan Sulaiman wafat. Aku
memejamkan kedua matanya, aku menyelimutinya dengan sebuah kain hijau, aku
menutup pintu, istrinya mengutus seorang utusan untuk meminta izin melihat
keadaannya, aku berkata kepadanya, ‘Dia telah tidur dan berselimut’. Utusan itu
telah melihat Sulaiman yang telah berselimut kain, dia pulang menyampaikannya
kepada istrinya, istrinya tenang karena dia mengira bahwa Sulaiman tidur.”
Raja’
berkata, “Aku meminta seseorang yang kupercayai untuk berdiri di pintu, aku
berpesan kepadanya untuk tidak beranjak sampai aku sendiri yang datang
kepadanya dan tidak memperkenankan siapa pun untuk masuk menemui khalifah. Lalu
aku memanggil Ka’ab bin Hamid al-Ansi, aku memintanya untuk mengumpulkan
keluarga Amirul Mukminin, mereka pun berkumpul di masjid Dabiq, aku berkata
kepada mereka, ‘Berbaiatlah kalian’. Mereka menjawab, ‘Kami telah berbaiat,
sekarang berbaiat lagi?’ Aku berkata, ‘Ini adalah pesan Amirul Mukminin,
berbaiatlah untuk mematuhi perintahnya, mengakui siapa yang disebutkan namanya
dalam surat wasiat yang distempel ini’. Mereka pun satu per satu membaiat untuk
kedua kalinya.”
Raja’
berkata, “Ketika mereka bersedia membaiat untuk kedua kalinya, maka aku yakin
telah menata urusan ini sebaik mungkin, aku mengucapkan, ‘Jenguklah Khalifah
Sulaiman, karena beliau telah wafat’. Mereka berkata, ‘Inna lillahi wa inna
ilaihi rajiun’. Kemudian aku membacakan isi surat wasiat Sulaiman, ketika aku
menyebut nama Umar bin Abdul Aziz, Hisyam berkata, ‘Kami tidak akan membaiatnya
selama-lamanya’. Raja’ mengatakan, ‘Demi Allah, aku akan memenggal lehermu,
berdiri dan berbaiatlah’. Lalu Hisyam berdiri dengan “menyeret” kedua kakinya.
Raja’
melanjutkan, “Aku memegang pundak Umar bin Abdul Aziz, aku mendudukkannya di atas
mimbar, sementara Umar bin Abdul Aziz mengucapkan, ‘Inna lillahi wa inna ilaihi
rajiun’. Ia menyesali apa yang didapatkannya. Sementara Hisyam juga mengucapkan
ucapan yang sama karena bukan dia yang ditunjuk oleh Sulaiman bin Abdul Malik
sebagai penggantinya. Hisyam bertemu Umar bin Abdul Aziz, dia berkata, ‘Inna
lillahi wa inna ilaihi rajiun’. Karena kekhalifahan telah berpindah tangan dari
anak-anak Abdul Malik kepada Umar bin Abdul Aziz. Maka Umar menjawab, ‘Ya, Inna
lillahi wa inna ilaihi rajiun’. Karena perkara itu sampai ke tangannya padahal
dia tidak menyukainya.” (Tarikh ath-Thabari, 7: 445).
Abu
al-Hasan an-Nadawi berkata tentang sikap Raja’, “Raja’ telah melakukan sebuah
jasa besar yang tidak akan dilupakan oleh Islam. Aku tidak mengetahui seorang
laki-laki dari kalangan sahabat raja dan orang-orangnya, yang bisa memberi
manfaat (dengan kedekatan dan kedudukannya) seperti manfaat yang diberikan oleh
Raja’. (Rijal al-Fikr wa ad-Da’wah, 1: 40).
Umar
naik mimbar, dan dalam tatap muka pertama dengan rakyat, dia mengatakan,
“Jamaah sekalian, sesungguhnya aku telah diuji dengan perkara ini, tanpa
dimintai pendapat, tidak pernah ditanya dan tidak pula ada musyawarah dengan
kaum muslimin. Aku telah membatalkan baiat untukku, sekarang pilihlah seseorang
untuk memimpin kalian.” Orang-orang serentak menjawab, “Wahai Amirul Mukminin,
kami telah memilihmu, kami menerimamu, silahkan pimpin kami dengan kebaikan dan
keberkahan.”
Di
saat itulah Umar merasa bahwa dirinya tidak mungkin menghindar dari tanggung
jawa khalifah, maka Umar menambahkan kata-katanya untuk menjelaskan
kebijakan-kebijakannya dalam menata umat Islam (Umar bin Abdul Aziz wa
Siyasatuhu fi Radd al-Mazhalim, Hal: 102), “Amma ba’du, tidak ada lagi nabi
setelah nabi kalian, tidak ada kitab selain kitab yang diturunkan kepadanya.
Ketahuilah bahwa apa yang Allah halalkan adalah halal sampai hari kiamat. Aku
bukanlah seorang hakim, aku hanyalah pelaksana, dan aku bukanlah pelaku bid’ah
melainkan aku adalah pengikut sunnah. Tidak ada hak bagi siapapun untuk ditaati
dalam kemaksiatan. Ketahuilah! Aku bukanlah orang yang terbaik di antara
kalian, aku hanyalah seorang laki-laki bagian dari kalian, hanya saja Allah
Subhanahu wa Ta’ala memberiku beban yang lebih berat dibanding kalian.
Kaum
muslimin, siapa yang mendekat kepadaku, hendaknya dia mendekat dengan lima
perkara, jika tidak, maka janganlah mendekat: Pertama, mengadukan hajat orang
yang tidak kuasa untuk mengadukannya, kedua, membantuku dalam kebaikan sebatas
kemampuannya, ketiga, menunjukkan jalan kebaikan kepadaku sebagaimana aku
dituntut untuk meniti jalan tersebut, keempat, tidak melakukan ghibah terhadap
rakyat, dan kelima, tidak menyangkalku dalam urusan yang bukan urusannya.
Aku
berwasiat kepada kalian agar kalian bertakwa kepada Allah, karena takwa kepada
Allah memberikan akibat yang baik dalam setiap hal, dan tidak ada kebaikan
apabila tidak ada takwa. Beramallah untuk akhirat kalian, karena barangsiapa
beramal untuk akhirat, niscaya Allah akan mencukupkan dunianya. Perbaikilah
(jaga) rahasia (yang ada pada diri kalian), semoga Allah memperbaiki apa yang
terlihat dari (amal perbuatan) kalian. Perbanyaklah mengingat kematian,
bersiaplah dengan baik sebelum kematian itu menghampiri kalian, karena kematian
adalah penghancur kenikmatan. Sesungguhnya umat ini tidak berselisih tentang
Tuhannya, tidak tentang Nabinya, tidak tentang Kitabnya, akan tetapi umat ini
berselisih karena dinar dan dirham. Sesungguhnya aku, demi Allah, tidak akan
memberikan yang batil kepada seseorang dan tidak akan menghalangi hak
seseorang.”
Kemudian
Umar meninggikan suaranya agar orang-orang mendengar, “Jamaah sekalian,
barangsiapa yang menaati Allah, maka dia wajib ditaati dan barangsiapa
mendurhakai Allah, maka tidak wajib taat kepadanya dalam permasalahan tersebut.
Taatilah aku selama aku (memerintahkan untuk) menaati Allah, namun jika
(perintahku) mendurhakai-Nya, maka kalian tidak boleh taat dalam hal itu…”
kemudian Umar turun dari mimbar.
Begitulah
prosesi pengangkatan Umar bin Abdul Aziz menjadi khalifah umat Islam, salah
seorang khalifah Daulah Umawiyah. Ia diangkat pada hari Jumat, 11 Shafar 99 H
(al-Bidayah wa an-Nihayah, 12: 667).
Sumber:
kisah muslim.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar