Siapa mau jadi
pustakawan? Dari hasil polling penulis terhadap 5.614 siswa SMA di Indonesia
tahun lalu, hanya ada 1 siswi yang berminat. Profesi ini masih dipandang
sebelah mata. Kerjanya seolah-olah hanya menjaga buku, tenggelam di antara
menjulangnya jajaran rak berisi ribuan buku. Apakah profesi ini memang “sepi
pekerjaan” dan berprospek suram?
Indonesia punya lebih
dari 200.000 sekolah mulai dari SD hingga SMA, dan lebih dari 3.000 perguruan
tinggi. Bayangkan, kalau tiap institusi memerlukan seorang pustakawan, berapa
sarjana perpustakaan yang harus disediakan. Untuk perbandingan, jumlah
pustakawan Indonesia saat ini hanya sekitar 3.000 orang.
Padahal, selain
perpustakaan sekolah dan perguruan tinggi, kita punya perpustakaan negara,
perpustakaan umum, dan perpustakaan khusus. Bukan itu saja, lembaga
pemerintahan dan perusahaan besar pun memerlukan keahlian mereka.
Bahkan di
perusahaan-perusahaan besar, karier pustakawan bisa mencapai posisi sebagai
Chief Information Officer (CIO), yang setara dengan Chief Financial Officer
(CFO) ataupun Chief Marketing Officer (CMO). Namun, tentu saja untuk bisa
seperti ini diperlukan landasan akademis yang kuat.
Tak banyak yang tahu
bahwa seorang sarjana Ilmu Perpustakaan menggenggam seabrek keahlian yang bisa
diaplikasikan ke banyak bidang lain terkait informasi. Alasannya jelas,
keahlian utama mereka adalah menghimpun, mengelola, menyebarkan, dan
melestarikan (preserve) informasi, lalu menyajikannya sesuai kebutuhan.
Profesi dan
Prodi Langka
Di University of
North Texas, Amerika Serikat, ada program studi Master di bidang Library and
Information Science. Program ini salah satu dari 56 program ilmu perpustakaan
di seluruh Amerika dan Kanada yang terakreditasi oleh American Library
Association. Salah satu alumninya, Corinne Hill, terpilih sebagai Librarian of
the Year tahun 2014. Materi kuliahnya menarik disimak.
Kita hidup di era
informasi dan internet. Data tidak lagi disimpan dalam wujud fisiknya saja.
Oleh sebab itu, selain mata kuliah tentang sistem perpustakaan, kini mahasiswa
harus mendalami aspek teknologi seperti misalnya Planning and Designing Digital
Library Strategies, Data Mining and Knowledge Management, Information
Architecture for Internet Services, Creating, Managing, and Preserving Digital
Assets, dan masih banyak lagi.
Salah satu bidang
peminatan yang menarik adalah Health Informatics. Bidang ini menyiapkan
lulusannya untuk menangani data kesehatan secara elektronik, data riset klinis,
pendidikan kesehatan, e-science, serta menangani masalah legal dan etika di
bidang informasi kesehatan.
Selain itu, ada lagi
pilihan Distributed Learning Librarianship yang fokusnya pada e-learning.
Mahasiswa banyak berhadapan dengan teknologi informasi dan telekomunikasi
sebagai sarana penyimpanan dan penyebaran informasi. Selain itu, masalah
seputar hak kekayaan intelektual mendapat porsi pembahasan lumayan banyak.
Spesialisasi lainnya
adalah Law Librarianship and Legal Informatics. Dengan makin banyaknya kasus
hukum, diperlukan ahli yang mampu mengelola semua dokumen hukum secara benar.
Dengan demikian, tidak perlu lagi ada kekawatiran berkas hilang karena habis
terbakar atau dicuri. Jelas, lembaga-lembaga terkait penegakan hukum sangat
memerlukan keahlian di bidang yang satu ini.
Selain teori,
mahasiswa S2 harus mengikuti Mentor Program dengan bekerja di sebuah
perpustakaan sekolah di bawah bimbingan seorang mentor. Apabila belum memiliki
pengalaman kerja di perpustakaan sekolah, mereka harus menghabiskan waktu
sedikitnya 120 jam di bawah bimbingan mentor di perpustakaan tersebut.
Meskipun kuliah di
Amerika, mahasiswa UNT juga berkesempatan magang di luar Amerika. Misalnya pada
2014 ini, mereka bisa mendaftar untuk ikut terlibat dalam pembangunan
perpustakaan di beberapa negara Eropa Timur.
Pustakawan
masa kini
Abdul Cholil, seorang
sarjana Ilmu Perpustakaan, tidak bekerja di perpustakaan pada umumnya sekalipun
pekerjaannya sepenuhnya menerapkan prinsip-prinsip kepustakaan. Sudah sejak
lama ia malang melintang di industri perbankan dan kini bekerja di sebuah
perusahaan asing dengan jaringan global.
Semasa kuliah ia
pernah menggarap proyek mendigitalisasi semua surat kabar terbitan lama milik
sebuah media cetak. Tugasnya bukan hanya memindai tiap koran ke dalam komputer.
Ternyata setiap berita dan artikel harus dikelompokkan dan dibuatkan catatan,
serta indeksnya agar mudah mencarinya kelak.
Kini, pekerjaannya
masih seperti seorang pustakawan, hanya yang ditanganinya bukan hanya buku atau
koran. Salah satu tanggung jawabnya adalah menata puluhan ribu data dan dokumen
perusahaan agar mudah dicari saat dibutuhkan.
Bukan itu saja, ia
juga bertugas mencarikan informasi yang diperlukan tiap divisi di perusahaan.
Maklum, di sebuah perusahaan raksasa milik asing tempatnya bekerja, dokumen
pajak, resep produksi, hak paten, keuangan, dan sebagainya tidak boleh
terselip, hilang, apalagi musnah.
Pustakawan
ideal
Berhubung tugas
utamanya adalah membagikan informasi, maka seorang pustakawan yang ideal bukan
dari golongan kutu buku yang pendiam. Justru seorang pustakawan harus memiliki
kemampuan komunikasi yang baik sebab ia harus berhubungan dengan berbagai pihak
dan divisi di perusahaan.
Ia juga harus
berorientasi pada pelayanan pelanggan dan pemasaran. Banyak pelajar tidak
tertarik masuk perpustakaan mungkin karena banyak pustakawan yang bersikap
pasif. Langkanya pustakawan bergelar akademis mungkin menjawab pertanyaan
mengapa banyak pusat pengetahuan ini kurang dikelola dengan semestinya sehingga
membuatnya makin tidak populer.
Oleh sebab itu,
karena bidang kerjanya makin dinamis dan media informasi makin bervariasi,
sebaiknya seorang pustakawan adalah pribadi yang kreatif.
Tantangan
bagi Indonesia
Harus diakui, untuk
urusan informasi di era keterbukaan ini, Indonesia masih jauh tertinggal. Di
negara lain, lulusan Ilmu Informasi dan Perpustakaan menempati posisi strategis
di berbagai industri. Selain bekerja di perpustakaan, mereka bisa bekerja di
bidang digital curation, digital preservation, digital publishing, atau
information analysis.
Indonesia punya lebih
dari 100.000 perpustakaan dan pusat informasi. Namun, karena kurang tenaga
pengajar, tak banyak perguruan tinggi membuka jurusan ini. Hanya sekitar 20
perguruan tinggi menawarkan program D3 dan S1, sedangkan di tingkat S2 hanya
ada 5 institusi. Di jenjang S3 baru ada satu universitas, itu pun baru dibuka
tahun 2012.
Masih banyak orang
Indonesia yang tidak pernah masuk perpustakaan. Padahal, pelan, tetapi pasti,
dunia beralih dari masyarakat industri ke masyarakat informasi yang setiap
aspek dikaitkan dengan ketersediaan informasi. Tanpa pustakawan andal, sulit
berharap jendela ilmu pengetahuan terbuka lebar bagi bangsa ini. (Sumber : Ina Liem)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar